Pemberdayaan atau Pemperdayaan? Mempertanyakan Arti Otonomi Daerah (oleh Marko Mahin)

Tulisan diambil dari arsip Kalteng.net (12-5-2003)

Salah satu hal yang menggelikan di Indonesia ini adalah ketika men-dengar para pejabat ber-pidato. Terutama pada saat mereka tidak bisa membedakan arti kata MEMBERDAYAKAN dan MEMPERDAYAKAN. Sehingga tidak heran kalau kalimat seperti ini yang muncul: Pemerintah siap memperdayakan masyarakat atau Pemerintah memberi perhatian penuh terhadap usaha pemperdayaan perempuan agar mereka dapat lebih berguna bagi bangsa dan negara.

Dalam Bahasa Indonesia memang diperlukan ketrampilan tersendiri untuk dapat menggunakan dua kata ini dengan tepat dan benar. Sebab kedua kata ini sama-sama berasal dari akar kata daya. Lain halnya dalam Bahasa Inggris, kata TO EMPOWER (memberdayakan, memberi daya, memberi kuasa) sangat kelihatan bedanya dengan kata TO TRICK (memperdayakan, menipu). Setengah bercanda, seorang teman berkomentar hal yang demikian terjadi karena para pejabat atau pemerintah memang punya kebiasaan dan kebisaan TO TRICK rakyatnya.

Terlepas dari ketidak-trampilan berba-hasa para pejabat itu, tampaknya dua kata ini memang lekat dengan nasib rakyat kecil yang tertindas. Mereka memang sangat mengharapkan adanya pemberdayaan dimana mereka dimampukan untuk mengelola hidup sendiri secara mandiri tanpa harus mengemis pinjaman atau subsidi. Namun yang seringkali datang kepada mereka adalah pemperdayaan dengan seribu mimpi dan janji. Kerakyatan, kemiskinan, kekumuhan dan keluguan mereka dijual untuk memperkaya segelintir orang yang mengaku pemimpin rakyat.

Baru-baru ini Yayasan Madanika Pontianak dan Telapak Indonesia Bogor meluncurkan sebuah buku yang merupakan hasil studi mengenai OTDA dengan judul Otonomi, Sebuah Omong Kosong: Potret Pengerukan Sumber Daya Hutan Indonesia Lewat Hukum Rimba Gaya Baru 2001. Buku ini memaparkan bagaimana kebijakan OTDA telah mengakibatkan penggundulan hutan di Kalimantan Barat karena para Bupati dengan rakusnya mengeruk Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menguras sumber daya hutan yaitu dengan berlomba-lomba mengeluarkan izin HPHH (Hak Penguasaan Hasil Hutan) kepada siapa saja yang berduit. Akibatnya hutan ditebang dengan liar dan buas oleh orang yang mampu membeli HPHH itu.

Apa yang dibicarakan dalam buku itu mengingatkan percakapan penulis dengan seorang Dayak sederhana penduduk asli desa Masaran, (lengkapnya di Kec. Kapuas Tengah, Kab. Kapuas, Kal-Teng) pada bulan Desember menjelang Tahun Baru. Ia mengatakan: Pak Pendeta, kami sudah tidak mempunyai hutan lagi. Hutan yang ada di sekitar kampung kami sudah menjadi milik orang lain yaitu seorang anggota DPRD yang berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten. Hal itu karena ia sanggup membeli HPHH. Jangan tanyakan kami mengenai Hutan Kerakyatan yang ada hanyalah Hutan Pejabat. Mendengar perkataan yang diucapkan apa adanya itu penulis bertanya dalam hati Apa artinya Otonomi Daerah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *