Plagiarisme dalam Menulis, Penulisan dalam Era Informasi Melimpah (oleh Wawan Wiraatmaja)
Masih belum hilang dalam ingatan ketika terjadi kegaduhan akademik karena terjadinya plagiarisme dalam penulisan artikel yang dilakukan oleh Anggito Abimanyu, dosen dari UGM yang pada saat itu menjadi Dirjen Haji, Kementerian Agama. Tulisan opini yang dimasukkan ke dalam harian nasional Kompas (10 Februari 2014) ternyata merupakan tulisan yang pernah dimasukkan oleh penulis lain pada harian yang sama pada 21 Juli 2006 (hampir delapan tahun sebelumnya) dan hanya melakukan perubahan sedikit. Imbas dari kejadian ini, Anggito kemudian mengundurkan diri dari jabatan Dirjen, dan juga mundur sebagai dosen di UGM. Integritas Anggito pun langsung jatuh ke titik nadir hanya karena satu kesalahan ini.
Praktek plagiarisme tersebut bisa diketahui karena adanya Internet dan sistem pencarian informasi canggih di Internet, salah satunya dengan keberadaan Google, mesin pencari (search engine) terbaik di dunia saat ini. Dengan memasukkan kata-kata kunci yang tepat, maka Google akan memberikan informasi terbaik yang mendekati dengan kata-kata yang dimaksud. Bahkan bila kita dapat memberikan perintah pencarian yang lebih spesifik, maka tulisan yang sama atau paling relevan akan dapat dimunculkan oleh Google. Hal inilah yang terjadi sehingga kasus Anggito terkuak.
Dari sumber wikipedia.org, menurut kamus besar bahasa indonesia,Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator. Yang tidak tergolong plagiarisme di antaranya (1) menggunakan informasi yang berupa fakta umum, (2) menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau parafrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas, atau (3) mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya.
Internet sebagai jaringan dari jaringan informasi (networks of networks) yang berkembang sangat pesat saat ini merupakan “perpustakaan” terbesar di dunia. Berbagai jenis informasi dapat ditemukan karena Internet memiliki konsep dasar saling keterhubungan (link atau tautan) dalam pembentukan atau pengembangannya. Google, dengan sistem komputernya yang canggih yang terdiri dari jutaan komputer server yang saling terhubung, yang sepanjang waktu mengirimkan agen-agen pencari informasinya ke seluruh pelosok Internet, memiliki sistem terbaik untuk menampilkan informasi yang paling relevan yang diinginkan pengguna ketika memasukkan kata-kata kunci tertentu. Hasil pencariannya ditampilkan dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari satu detik. Sehingga, selain dapat digunakan untuk mencari informasi tertentu yang sesuai dengan suatu topik yang ingin kita dalami, maka Google (dan mesin pencari lain) dapat juga kita gunakan untuk melakukan penelusuran informasi yang terkait dengan praktek plagiasi.
Hal inilah yang dilakukan penulis ketika melihat beberapa tulisan yang ada di ruang opini Harian Kalteng Pos. Tulisan berjudul Membangun Planning Gallery Penataan Ruang, terbit tanggal 12 Agustus 2014, terdiri dari tiga kolom dengan menyita sekitar 1/3 halaman koran, dan terdiri dari sekitar 1085 kata. Penelusuran di Internet memperlihatkan tulisan ini minimal berasal dari empat sumber: http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw030810tar.htm, http://werdhapura.penataanruang.net/pusat-informasi/publikasi/38-headlines-news/309-bipr-wujudkan-panning-gallery, dan http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/perencanaan/1364173432/jakarta-city-planning-gallery.html, http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/view/_printart.asp?idart=233 (semua diakses pada 9-9-2014, tulisan terakhir diambil dari cache google karena sumber asli tidak bisa diakses). Kata-kata yang asli dari penulis hanya dua alinea pertama, alinea keempat, dan dua alinea terakhir dari total 17 alinea yang ada. Jumlah kata kelima alinea ini adalah 327 kata (30% tulisan).
Tulisan lain berjudul Asa dan Peringatan HUT ke-34 Pariwisata Dunia (11 September 2014). Terdiri dari lima kolom, sekitar 50% tulisan ini berasal dari handout mata kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (Bandung). Bisa diakses di http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAINNYA/GUMELAR_S/HAND_OUT_MATKUL_KONSEP_RESORT_AND_LEISURE/PEMBERDAYAAN_MASYARAKAT_BERBASIS_PARIWISATA.pdf.
Bagaimana hal ini dapat diketahui? Sangat mudah. Penulis hanya mengambil atau mengetikkan beberapa kata lengkap (kalimat) dari beberapa bagian artikel ke dalam kotak pencarian Google dan menunggu hasil yang relevan muncul. Pembaca bisa mencoba hal ini untuk tulisan-tulisan lain.
Ironis memang yang dilakukan para penulis artikel di atas. Pertama, karena kasus plagiat oleh Anggito seperti yang telah disampaikan di awal artikel ini baru saja terjadi. Kedua, para penulis artikel tersebut ternyata memiliki jabatan widyaiswara, yang notabene adalah para pengajar bagi pegawai negeri di badan diklat pemerintah. Ketiga, mereka menyandang gelar pascasarjana yang sudah semestinya harus menghargai adanya hak cipta orang lain.
Benar bahwa tulisan dapat dibuat dengan mengutip dari tulisan lain. Tetapi, syarat ketat diberlakukan untuk tulisan yang berasal dari kutipan, salah satunya dengan memberikan pembeda bentuk tulisan (tifografi) serta mencantumkan jelas sumber tulisan. Tidak ada batasan berapa banyak kata atau kalimat yang masih dibolehkan dikutip, tetapi jelas bila ada tulisan yang hanya 30%-nya merupakan tulisan asli, maka kaidah akademik penulisan telah dilanggar.
Plagiarisme merupakan salah satu masalah mendasar yang sering ditemui di berbagai tingkatan pendidikan di Indonesia. Bila hal ini telah dilakukan sejak tingkatan pendidikan dasar, apa jadinya generasi penerus bangsa bila telah menjadi aktor utama pembangunan? Jangan-jangan bangsa ini nantinya hanya bisa menjiplak apa yang dilakukan bangsa lain, dengan mutu yang lebih rendah karena tidak ada kreativitas yang dihasilkan. Lebih parah, bila hal ini dilakukan oleh mereka yang mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka apa jadinya orang yang mereka bagi ilmu? Bila guru kencing berdiri maka murid kencing berlari.
Penulis juga menjadi pengajar mata kuliah komputer di salah satu universitas swasta terbaik di Palangka Raya. Hal pertama yang penulis ajarkan adalah mencari informasi dengan menggunakan Google. Bukan sekadar menggunakan pencarian kata kunci, penulis bahkan mengajarkan mahasiswa untuk bisa mendapatkan informasi spesifik seperti skripsi, tesis, jurnal atau karya tulisan lain yang diunggah dalam format lengkap seperti doc, ppt atau pdf sehingga bisa menjadi referensi dalam penulisan karya ilmiah. Dengan cara ini, sebenarnya penulis telah mengajarkan mahasiswa untuk menjadi plagiator karena banyak bahan tulisan tersebut, bila sesuai dengan tugas mahasiswa dapat dilakukan copy-paste atau bahkan hanya dengan mengganti judul dan nama penulis saja. Tetapi, ketika memberikan metode pencarian spesifik, penulis menekankan bahwa plagiasi dalam tugas yang diberikan oleh penulis akan menyebabkan nilai minimal bahkan tidak mendapat nilai. Penulis juga menyampaikan bahwa teknik yang sama juga telah diajarkan ke kolega dosen untuk membantu mereka mencari informasi spesifik dan juga menghadapi plagiasi yang mungkin dilakukan oleh mahasiswa.
Kenapa proses pencarian spesifik penting dalam era informasi saat ini? Karena saat ini yang terjadi adalah melimpah ruahnya sumber informasi sehingga sulit mendapatkan informasi yang paling relevan. Dengan mengajarkan mahasiswa mendapat referensi terbaik yang relevan secara cepat berarti membantu mereka mengembangkan wawasan pengetahuan dengan meluaskan pandangan terhadap permasalahan yang dihadapi. Ini juga sebenarnya secara tidak langsung memacu dosen untuk juga mengembangkan wawasannya agar tidak tertinggal informasi.
Dengan melimpahnya sumber tulisan dan sumber informasi, maka sudah menjadi keharusan bahwa kita harus menyikapinya dengan baik. Setiap pihak yang berhubungan dengan penerbitan sebuah karya tulis harus memiliki kemampuan yang baik untuk menghindari plagiarisme. Teknologi pencarian informasi, selain digunakan untuk meningkatkan kualitas karya tulis juga harus digunakan untuk memastikan tidak terjadi penjiplakan yang merendahkan karya cipta orang lain.
Tulisan opini ini telah dimuat di Kalteng Pos (4-10-2014)