Agama Sebagai Faktor Pembeda (oleh Marko Mahin)

Tulisan diambil dari arsip kalteng.net (2-4-2003)

A. The Janus Faced Of Religions

Sesungguhnya agama itu ambigu. Ibarat Dewa Janus dalam legenda Yunani kuno, ia memiliki wajah ganda yang berlawanan arah. Di satu sisi ia berwajah cantik, lembut dan menawan, namun di sisi lain ia berwajah seram dan menakutkan. Agama bisa bersifat positif dan bisa bersifat negatif. Ada satu waktu agama berperan konstruktif, namun ada satu waktu agama berperan destruktif. Agama bisa menjadi penyelamat, namun agama juga bisa menjadi pembawa celaka.
A. N. Wilson, seorang jurnalis dalam bukunya yang berjudul Against Religions: Why We Should Try to Live Without It (Melawan Agama-agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia) mengatakan:
Agama mengatakan & Cinta uang adalah akar dari segala kejahatan namun mungkin yang lebih benar adalah Cinta akan Tuhan adalah akar dari segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada satu agama pun yang tidak ikut terlibat dalam berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat; tetapi agama lebih berbahaya dari candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bahwa diri mereka sendirilah pemilik kebenaran.

Apa yang dikatakan Wilson mungkin ada benarnya bila kita bandingkan kenyataan empirik bahwa semakin seseorang taat pada agamanya, semakin ia tidak toleran. Dengan kata lain, semakin seseorang itu mencintai Tuhan semakin ia membenci sesama. Lihat pada peristiwa Ambon, bukan semua tindakan perang itu dilakukan itu dalam rangka taat pada agama dan cinta Tuhan?. Actually religions more than opium.

Peristiwa beragama semacam ini adalah sebuah kegilaan. Para penganut agama seolah-olah mengidap Oedipus Complex, yang secara tidak sengaja melihat bayangan dirinya di kolam dan kemudian jatuh cinta pada dirinya sendiri. Ia menjadi berpusat pada diri sendiri dan eksklusif. Melihat diri sendiri yang paling baik, paling benar dan paling berhak masuk surga, sementara yang lain semuanya adalah buruk dan penghuni neraka. Inilah model pendekatan seperti yang dikatakan oleh Cantwell C. Smith, teolog dari Kanada atau Filsuf Martin Buber. Model pendekatan memposisikan bahwa orang di luar agama saya (orang yang berbeda agama dengan saya) adalah benda semata yang dapat diperlakukan semena-mena bagi kepentingan saya dan halal darahnya. Karena ia tidak sama dengan saya maka ia adalah musuh saya. Model pendekatan seperti ini memang sangat tidak fair dan menyangkali fakta social adanya keberagaman. Kalau model cinta Tuhan semacam ini kita kenakan pada cinta istri maka akan muncul kemungkinan dan kelucuan sebagai berikut:

1. Saya sangat mengasihi istri saya karena itu saya harus membenci perempuan lain selain istri saya. (Saya mencintai dan taat pada agama saya, karena itu saya harus membenci agama lain)

2.Istri saya yang paling cantik, istri orang lain jelek semua. (agama saya yang paling benar, agama lain salah semua).

Pada tataran ini tampak bahwa ternyata agama telah menjelma sebagai monster kejam menakutkan penyebar terror dan kebencian. Kenyataan inilah yang memungkinkan agama yang katanya suci, agung dan luhur itu dapat diperalat untuk kepentingan politik bahkan untuk kepentingan apa saja, misalnya untuk kepentingan ekonomi dengan labelisasi halal.
B. Agama dan Realitas Sosial Masyarakat

Kenapa kita tidak belajar dari Sejarah. Mungkin ini patut kita ucapkan berkali-kali, ribuan kali bahkan jutaan kali sehingga menjadi sebuah mantra gaib yang mampu membebaskan kita dari ketololan untuk mengulang kesalahan masa lalu dan membuat kita bijaksana dalam merencanakan masa depan. Sejarah mencatat bahwa pada zaman Karl Marx, agama memang tampil secara negatif. Di mana agama menghamba atau menjadi antek-antek para pemilik modal dan penguasa, yang tidak hanya berkuasa, tetapi juga menindas rakyat miskin yang lemah dan tak berdaya. Agama merelakan diri sebagai alat penjinak kaum buruh agar tidak memberontak. Dengan ajaran-ajaran yang penuh ilusi-ilusi surgawi, agama mengajak para buruh untuk pasrah menerima nasib buruknya. Kepasrahan itu diajarkan sebagai sarana mendapat pahala di surga. Komunisme muncul karena kesalahan agama sendiri yang mengkebiri diri sendiri sehingga kehilangan fungsi kritis atau fungsi kenabian, seperti yang dikatakan oleh Thomas F. O Dea dalam bukunya Sociologi of Religion, yaitu agama dapat memberi patokan nilai di mana norma-norma yang terlembaga dikaji kembali. Komunisme muncul karena kegagalan agama memperbaiki situasi social kemasyarakatan pada waktu itu. Ia lebih senang menampilkan wajah jeleknya sehingga Marx sangat muak dan menyebutnya sebagai candu (padahal lebih jahat dari candu). Komunisme sebenarnya adalah kritik yang sangat tajam atas agama-agama dan biasanya muncul pada saat agama impoten. Namun sebenarnya ada isme lain yang lebih berbahaya dari komunisme — yang sudah tidak popular lagi yaitu agamaisme dimana orang tidak lagi menyembah Tuhan tetapi menyembah Agama yang dianutnya. Karena itu pada saat mereka berperang atas nama agamanya mereka berpikir telah membela Tuhan (Saya jadi teringat bukunya Karen Amstrong). Agama telah menjadi berhala moderen yang menggantikan Tuhan. Karena itu orang-orang berlomba-lomba untuk beragama walaupun nantinya dalam proses selanjutnya mereka sama sekali tidak ber-Tuhan. Karena itu tidak heran kalau di negara yang katanya agamais seperti Indonesia ini telah menjadi firdaus bagi para kriminal kejam dan para koruptor kelas wahid, sebab sangat banyak orang beragama tetapi sangat sedikit orang yang ber-Tuhan. Berdasarkan paparan di atas saya mau mengatakan bahwa yang harus kita waspadai sebenarnya bukan bangkitnya faham komunis tetapi maraknya praktek keagamaan yang tanpa Tuhan bahkan menyangkali Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Fritjop Schoun, Teolog Islam, bahwa ada banyak orang yang mengidentikkan ajaran agama, ajaran tentang Tuhan dengan Tuhan itu sendiri yang akhirnya membawa mereka pada keberagamaan palsu yang men-Tuhan-kan ajaran dan melupakan Tuhan yang sejati.
C.Agama dan Pergumulan Rakyat Kalimantan: Jangan Melupakan Sejarah!

Kita harus peka dan kritis dengan agama yang kita anut, jangan-jangan ia mengulangi peran agama pada zaman Marx yang sibuk bicara tentang sorga tetapi melupakan kenyataan konkrit di dunia. Sekali lagi Kita harus belajar dari sejarah (bila anda seorang Sukarnois, anda boleh membacanya jasmerah) bahwa selama selama 32tahun kita di jajah oleh rezim Suharto dan pada saat itu adalah masa-masa agama duduk sepelaminan dengan negara dan menjalani masa bulan madu yang sangat romantis sekali sehingga agama hanya menjadi bidadari tolol dalam pelukan rezim yang sangat serakah dan kejam. Kita harus belajar dari sejarah bagaimana pada jaman itu propinsi-propinsi telah menjadi jajahan Jakarta. Orang Kalimantan hanya bisa duduk membisu tanpa daya ketika sumber alamnya (dengan dalih UUD 45) dikeruk dan hasilnya hanya memperkaya segelintir orang. Sejarah mencatat bahwa Kalimantan hanya dijadikan sapi perah oleh orang-orang sebangsanya. Kita harus ingat pada zaman itu (bahkan mungkin hingga kini) secara khusus di Kalimantan Tengah, jika ada satu suku yang dicap maling dan perusak di tempatnya sendirinya, itulah suku Dayak. Suku minoritas yang akrab dengan hutan belantara nan luas. Suku yang tesebar di tiga negara namun masih di pulau yang sama: Indonesia, Brunai dan Malaysia. Sejarah yang tidak jujur telah merajut kekecewaan demi kekecewaan atas suku ini. Mulai dari sikap superioritas suku-suku lain, yang dengan arogannya melahirkan hasutan bahwa orang Dayak itu liar, kafir, biadab dan berekor. Hingga pada tudingan palsu yang mengatakan bahwa orang-orang Dayak itu perusak lingkungan hidup, penebang liar, penambang liar, pembakar hutan dsb..

Sejarah mencatat bahwa realitas sosial yang tidak adil, dengan ganasnya telah melindas suku ini. Secara halus mereka disingkirkan dan dibuat tidak berdaya. Sehingga bila ada putra Dayak yang bisa menduduki posisi penting pada waktu itu–, gubernur misalnya, itu merupakan suatu mujizat Tuhan atau suatu kecelakaan politik. Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan orang-orang Dayak pada saat itu bahkan mungkin sekarang ini adalah orang Dayak yang sedang berada pada zaman yang penuh dengan kekecewaan. Zaman tetek tatum atau zaman ratap tangis, karena tanpa pemimpin, tanpa daya, tercerai, tersingkirkan dan tersisihkan Mereka hanya dapat berteriak dalam jeritan pilu nan pedih dan kemudian menuntut keadilan dengan kekerasan. Misalnya peristiwa 23 Januari 1997, ratusan penduduk kampung, yang adalah para penambang tradisional yang dituduh penambang liar, melakukan pembakaran atas PT Ampalit Mas Perdana, dengan korban: enam truk, kantor PT Ampalit Mas Perdana dan sejumlah fasilitas lainnya. Peristiwa ini terjadi karena pihak perusahaan (didukung oleh ABRI) mengambil secara paksa 1000 unit mesin pennyedot para penambang tradisional itu (Lihat Kemarahan Kolektif Periode Januari-Maret 1997, dalam Tabloid Aksi, No. 9, Th. I, 1-7 April 1997).

Sejarah mencatat bahwa orang-orang Dayak hanya diposisikan menjadi penonton bisu dan pasif atas suatu pertunjukkan spetakuler yang bernama Lahan Sejuta Hektar. Mereka hidup miskin di tengah alam yang kaya raya. Mereka hidup di provinsi Kalteng–provinsi terbesar ketiga di Indonesia dan berada diurutan pertama penghasil kayu bulat (gelondong), provinsi emas hijau — namun sebagian besar mereka tetap miskin dan hanya menjadi penonton atas penjarahan besar-besaran atas kekayaan alam itu. Hal itu terjadi karena hutan itu telah dikuasai para pemilik HPH, sehingga masyarakat Dayak yang lahir dan dibesarkan di sekitar hutan itu tidak boleh mendaya gunakan hutan itu bagi kepentingan hidupnya. (Lih. Barthel B. Usin Proyek Lahan Gambut Kalteng Jadi Andalan Sektor Pertanian Di Masa Datang, dalam Suara Pembaruan 3 Juni 1997, hlm 17). Satu hal yang pasti dari potret buram masyarakat Dayak di atas, adalah Sama sekali tidak disebabkan oleh Politik Adu Domba Belanda, Negara Boneka Hindia Belanda, Politik Solidaritas Buruh Tani, PKI dll. Sejujurnya saya sama sekali tidak melihat peran PKI atau faham komunisnya. Sebagai seorang teolog saya dapat mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh orang-orang yang beragama tetapi tidak ber-Tuhan, orang-orang yang menjadikan uang sebagai Tuhannya dan kekayaan duniawi sebagai orientasi hidupnya. Hal yang terjadi pada masa itu (mungkin juga pada masa kini) adalah agama-agama sedang mengalami proses reifikasi (pembendaan) dan alienasi. Agama kehilangan sifat radikalnya, puas-diri hanya dengan menjadi penonton yang statis, tidak kritis terhadap hal-hal yang seharusnya menjadi kepedulian, takut mengkritik dan berpendapat terhadap kepincangan-kepincangan yang ada, acuh terhadap penyelewengan meskipun itu terjadi di depan mata, membisu karena dibungkam oleh ketakutan, akhirnya mengharamkan protes dan bersikap pengecut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *